Tradisi dan Merawat Ekosistem Karya Budaya Senandung Jolo di Jambi
JAMBI – Pertukaran gagasan antara seniman dan maestro Senandung Jolo melahirkan karya bertajuk Bejolo di Ujung Tanjung. Pergelaran seni yang melibatkan ratusan anak-anak ini untuk mewariskan tradisi dan merawat ekosistem karya budaya.
Senandung Jolo merupakan tradisi lisan milik masyarakat Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi. Tradisi terus berkembang karena masyarakatnya piawai mengolah pantun menjadi nyanyian, untuk merespons lingkungan. Terbatasnya jumlah penutur Senandung Jolo membuat tradisi ini terancam punah.
Sanggar Seni Mengorak Silo yang menjadi rumah Senandung Jolo, kini menyisakan tiga penutur yakni Wak Degum, Wak Zuhdi dan Wak Mariam. Tahun ini mereka menerima hibah Dana Indonesiana dari Kemdikbudristek. Untuk mewujudkan merdeka belajar dan merdeka berbudaya mereka pun berkoloborasi dengan seniman musik yakni Muhammad Taufiq Hidayat, Fino Andreka, Dwi Putra Yan Ramadona dan Anggi Okfrida. Kemudian seniman tari perempuan, Ajeng Briliant serta seniman teater Suwandi Wendy.
Wujud kolaborasi mementaskan karya Bejolo di Ujung Tanjung yang menawarkan pengalaman impresif dan imersif (immersive). Sebuah karya pertunjukkan yang menggabungkan berbagai elemen seni dan teknologi. Dan menggunakan pendekatan interaktif dan multisensorial untuk merayakan kekayaan kesenian Senandung Jolo sembari menjebatani tradisi dan inovasi kontemporer.
Dalam dunia yang semakin global, penting untuk menjaga dan mempromosikan warisan budaya kita dengan cara yang dapat diterima dan dinikmati generasi muda dan audiens internasional. Bajolo do Ujung Tanjung bukan hanya tentang pengembangan kesenian tradisional dalam upaya menjaga warisan budaya tapi juga tentang menciptakan masa depan yang lebih kaya, beragam dan harmonis.
“Kolaborasi bersama maestro adalah kunci untuk menghormati masa lalu sambil membangun jembatan menuju masa depan yang lebih baik,” kata Muhammad Tuafiq Hidayat, Sabtu (20/7/2024).
Ia mengatakan melalui kombinasi musik, tari, teater dan sastra pada pementasan Bejolo di Ujung Tanjung menciptakan sebuah narasi yang mengajak penonton, untuk menjelajahi dan merasakan berbagai aspek dari setiap kreativitas, perjalanan emosional dan kultural setiap individu dalam menafsirkan harmoni antara tradisi dan modrenitas.
“Setiap elemen seni tidak hanya ditampilkan secara terpisah tetapi juga diintegrasikan secara harmonis untuk menghasilkan pengalaman yang tak terlupakan yang diharapkan dapat memperkaya pemahaman audiens tentang Senandung Jolo dan potensi kreatifnya dalam konteks dunia hari ini,” kata Taufiq.
Pewarisan Tanpa Batas
Senandung Jolo berkembang di Desa Tanjung. Tetapi pewarisan tak terbatas ruang dan waktu yang mencari ‘inang’ untuk tumbuh di setiap zaman. Dengan mengajarkan Senandung Jolo kepada ratusan anak yang berada di Kecamatan Kumpeh, maka proses pewarisan sudah berjalan. Setidaknya dalam diri anak-anak muncul rasa kepemilikan terhadap karya budaya yang telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.
“Kita ingin mewariskan tradisi Bejolo pada anak-anak, generasi selanjutnya yang akan mengisi zaman. Agar proses pewarisan lebih kuat dan mendalam, kita harus berkolaborasi dengan seniman lain dan banyak pihak,” kata sang maestro, Zuhdi.
Ketua Sanggar Seni Mengorak Silo merasa terharu ketika anak-anak naik ke atas panggung dengan penuh percaya diri. Senandung Jolo dirayakan dengan gemilang dan diapresiasi secara mendalam. “Agenda yang berjalan sudah sesuai amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan,” kata Zuhdi.
Meskipun pewarisan sudah berjalan dengan baik, Zuhdi masih menyisakan kecemasan, sebab daya dukung ekosistem karya budaya Senandung Jolo mulai terganggu. Gangguan budaya asing, tentu berpotensi meruntuhkan kebanggan generasi muda terhadap budaya lokal. Sehingga dia berharap karya budaya yang telah menjadi WBTB Indonesia dapat diajarkan ke sekolah secara rutin.
Isu Perempuan dan Lingkungan
Seniman tari Perempuan, Ajeng Briliant menilai aktivitas tradisi Senandung Jolo begitu kuat dengan aktivitas para Perempuan. Aktivitas perempuan di sawah mulai dari gotong royong menugal (tanam padi) sampai dengan panen senantiasa menyelipkan Senandung Jolo.
Aktivitas Senandung Jolo yang berkaitan dengan pertanian sedikit menurun, karena adanya pergeseran mata pencarian dari sawah ke perkebunan sawit. Sehingga sedikit sekali Perempuan yang terlibat dalam aktivitas Bejolo.
Hal senada disampaikan Suwandi Wendy. Seniman teater ini menyumbang kritik sosial dalam garapan Bejolo di Ujung Tanjung. Menurunnya kualitas lingkungan turut mempengaruhi Senandung Jolo. Pasalnya bahan baku alat musik gambang, yang digunakan untuk menunjang pertunjukkan Bejolo kini sudah sulit ditemukan di alam.
Penyebab utamanya tentu alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit secara masif. Sehingga keberadaan kayu mahang sulit ditemukan. Padahal kayu mahang menjadi bahan baku utama, yang tak bisa digantikan dengan bahan lain.
“Kita harus melihat Senandung Jolo secara utuh, dari hulu sampai hilir. Tidak ada alat musik gambang yang baik, jika tidak ada kayu mahang. Semua itu berhubungan dan saling mendukung,” kata Wendy.
Pertunjukkan Bejolo di Ujung Tanjung akan mementaskan pertunjukkan mulai dari arak-arakan kompangan. Selanjutnya penonton akan digiring suara-suara Senandung Jolo untuk menghampiri panggung-panggung kecil. Pada panggung-panggung itu, anak-anak sudah bersiap untuk menghibur penonton dengan keterampilan memainkan berbagai instrumen musik, gerak, permainan anak tradisional dan silat kampung.
Selanjutnya pementasan panggung kecil akan ditutup dengan pembacaan piagam Batanghari, untuk mengingatkan publik tentang kearifan leluhur dalam menjaga mata air, hutan, sungai dan lingkungan. Kemudian baru muncul sajian utama, garapan musik bersama maestro, tari massal dan teater yang memikat. (*)
Komentar0